Sunday, August 27, 2017

Kalau bukan Tauhid, apa lagi?

Apakah ada hal lain yang lebih mendesak dan lebih penting daripada keselamatan Aqidah kita? Apakah itu persatuan bangsa? Apakah itu kekompakan kelompok? Apakah itu kejayaan nama?

Apakah karena persatuan bangsa menjadi terancam, kemudian aqidah menjadi nomor tiga? Lebih baik tidak usah bicara aqidah jika persatuan bangsa menjadi tercederai?

Kalau bukan tauhid yang akan menghantarkan kita ke Surga, apa lagi?

Saturday, August 26, 2017

Husnudzon Billah

Husnudzon Billah. Bersangka baik kepada Allah, adalah sebuah perkara yang panjang. Dari mulai bangun tidur sampai tidur kembali.

Bersangka baik kepada Sang Pencipta dari mulai lahir ke dunia, hidup, tumbuh berkembang biak, melahirkan anak ke dunia ini, sampai menutup mata di pembaringan terakhir. Bersangka baik kepada Allah adalah suatu usaha seumur hidup, yang jika kita berhenti atau memindahkan sangka baik kita kepada yang lain sambil membalik-kan punggung pada Yang Maha Rahman, saat itulah saat paling berbahaya untuk..  Mati!
Maka janganlah kamu mati dalam keaadaan tidak bersangka baik kepada Allah Azza wa Jalla...!

Tidak apa, jika mereka mengatakan kamu berprasangka buruk pada sesuatu yang meresahkan bagi hatimu, kehalalannya, kethoyyibannya, bahkan filosofinya yang begitu membuat otak ini membara memikirkannya, selama sesuatu yang datang itu bukan dari Allah atau RosulNya, maka sesuatu itu boleh ditolak, dan boleh diterima. Kapan dia boleh ditolak? Saat kita ragu bahwa itu baik buat kita, saat kita ragu bahwa itu tidak menyelisihi ketentuanNya, saat kita ragu dengan segala tanda yang Allah berikan di depan mata kita. Kapan dia boleh diterima? Saat kita yakin bahwa tidak sedikitpun dia meragukan kita, saat kita yakin dia tidak melanggar satupun, sebersitpun perkataanNya, maupun perkataan RosulNya.

Maka bergembiralah, bila mereka menuduhmu gila, bodoh, dan aneh/asing dalam usahamu bersangka baik kepada Allah. Bukankah Islam ini asing? Dan akan kembali menjadi asing?

Tetaplah bersangka baik kepada Allah atas segala apa yang sudah dan belum terjadi dalam kehidupan kita.

Biarkanlah mereka, berlalulah dengan sebaik-baik laluan, sebagaimana tersebut begitu indahnya dalam Al-Qur'an yang mulia, tentang Hamba-hamba yang Maha Rahman... Jika dikatakan kepedihan padanya, dia berkata yang baik-baik, ucapkanlah kata-kata keselamatan, doakan yang baik, berlalulah dengan sabar dan sholat. Semoga Allah memberikan kesempatan bagi mereka untuk mendapatkan petunjuk, dan menjadikan hati kita kuat tetap di atas dien ini. Innalloha ma'ash shobiriin...

Monday, August 21, 2017

Lima Persoalan Darurat dalam Islam

DHARURIYYATUL-KHAMS (LIMA KEBUTUHAN PENTING YANG HARUS DIJAGA OLEH KAUM MUSLIMIN)

Oleh
Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi Al-Atsari

Apa yang dimaksud dengan dharûriyyâtul-khams? Makna dharûriyyâtul-khams, yaitu menyangkut lima kebutuhan penting yang semestinya dijaga oleh kaum Muslimin. Dan dalam masalah ini, Al-Qur‘an dan as-Sunnah telah memberikan perhatian yang besar. Berikut ini ulasan berkaitan dengan pembahasan judul di atas. Kami angkat berdasarkan ceramah Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi Al-Atsari pada Daurah Syar’iyyah I yang diselenggarakan oleh Yayasan Imam Bukhari, Jakarta, di Ciloto, Bogor, Jawa Barat, pada pertengahan bulan Februari 2007, dan mengacu dengan kitab Maqâshidusy- Syarî’ah ‘Inda Ibni Taimiyyah, karya Dr. Yûsuf bin Muhammad Al-Badawi yang menjadi pegangan Syaikh dalam daurah tersebut

Dharûriyyâtul-khams yang dimaksudkan, yaitu meliputi penjagaan terhadap dîn (agama), jiwa, keturunan, akal, dan harta.

1. MENJAGA DIN (AGAMA).
Ini merupakan dharûriyyât yang terpenting dan berada pada urutan tertinggi. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembah-Ku. [Adz-Dzâriyat/51: 56]

Demikian tujuan hakiki dari penciptaan makhluk. Untuk mencapai tujuan inilah, maka para rasul diutus dan kitab-kitab diturunkan. Sebagaimana firman-Nya.

رُسُلًا مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ

“(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu”. [An-Nisâ/4: 165].

Begitu juga firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiaptiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu”. [An-Nahl/16 : 36]

Agar Allah Subhanahu wa Ta’ala menjaga din (agama) dari kerusakan, karena din merupakan dharuriyat yang paling besar dan terpenting, maka syari’at juga mengharamkan riddah (murtad), memberi sanksi kepada orang yang murtad dan dibunuh. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوهُ

“Barangsiapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah dia” [HR Bukhari]

Juga sebagaimana sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lain.

لَا يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلَّا بِإِحْدَى ثَلَاثٍ النَّفْسُ بِالنَّفْسِ وَالثَّيِّبُ الزَّانِي وَ الْمُفَارِقُ لِدِينِهِ التَّارِكُ لِلْجَمَاعَةِ

“Tidak halal darah seorang muslim (tidak boleh dibunuh, Red.), kecuali dengan salah satu di antara tiga sebab yaitu jiwa dengan jiwa, orang tua yang berzina (dibunuh dengan dirajam, Red.), orang yang murtad meninggalkan agamanya dan jama’ahnya” [HR Bukhari]

Ini semua untuk menjaga din. Realisasinya dapat dilakukan dengan beberapa cara, di antaranya dengan :

(a). Beriman kepada Allah Azza wa Jalla, mencintai-Nya, mengagungkan-Nya, mengetahui Asmâ dan Sifat Allahl.
(b). Berpegang teguh dengan agama, mempelajarinya, lalu mendakwahkannya.
(c). Menjauhi dan memperingatkan dari perbuatan syirik dan riya’.
(d). Memerangi orang-orang yang murtad.
(e). Mengingatkan dari perbuatan bid’ah dan melawan ahlul bid’ah.[1]

2. MENJAGA JIWA (HIFZHUN-NAFSI).
Menjaga jiwa juga termasuk dharûriyatul-khamsi, dan din tidak akan bisa tegak, jika tidak ada jiwa-jiwa yang menegakkannya. Kalau kita ingin menegakkan din, artinya, kita harus menjaga jiwa-jiwa yang akan menegakkan din ini. Untuk menjaga dan memuliakan jiwa-jiwa ini, Allah Azza wa Jalla berfirman :

وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa” [Al-Baqarah/2:179]

Dalam ayat ini Allah Azza wa Jalla menjadikan qishash sebagai salah satu sebab kelestarian kehidupan, padahal qishash itu merupakan kematian. Mengapa? Karena, dengan keberadaan hukum qishash, maka para pelaku kriminal menjadi jera, kehidupan pun menjadi aman. Jadi, qishash merupakan salah satu sebab terwujudnya kehidupan yang damai, tenang, dan dalam naungan hidayah.

وَلَا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ

“: (Di antara sifat hamba-hamba Allah Yang Maha Penyayang yaitu) tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina”. [Al-Furqân/25: 68]

Yang disebut dengan al-haq (kebenaran), yaitu harus dengan dalil dan bukti. Jika tidak, berarti melakukan pembunuhan tanpa alasan yang benar. Dan berdasarkan Al-Qur‘an dan as-Sunnah, melakukan pembunuhan tanpa alasan yang benar, hukumnya terlarang.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda tentang penjagaan terhadap jiwa:

مَنْ تَرَدَّى مِنْ جَبَلٍ فَقَتَلَ نَفْسَهُ فَهُوَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ يَتَرَدَّى خَالِدًا مُخَلَّدًا فِيهَا أَبَدًا

“Barangsiapa yang menjatuhkan dirinya dari gunung lalu dia membunuh dirinya (mati), maka dia akan berada dalam Neraka Jahannam dalam keadaan melemparkan diri selama-lamanya”. [HR Imam Bukhari]

Dalam hadits ini terdapat bantahan terhadap seseorang yang berpendapat “saya bebas melakukan apa saja atas diri saya”. Perkataan seperti ini merupakan perkataan keliru, karena di dalam Al- Qur`anul-Karim disebutkan tentang ucapan yang benar, sebagai petunjuk bagi kaum Mukminin jika tertimpa musibah. Allah Azza wa Jalla berfirman.

الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ

“ (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.” [Al-Baqarah/2: 156]

Inna lillahi (sesungguhnya kita milik Allah) dengan demikian, kita ini milik Allah Azza wa Jalla, tidak boleh berbuat sewenang-wenang atas diri kita, tidak boleh menyengaja melukai tangan sendiri lalu berkata “ini tangan saya, saya bebas melakukan apa saja terhadapnya”. Apalagi sampai mengatakan “ini adalah jiwaku, saya ingin membunuh diri atau menjatuhkan diri dari gunung, atau menenggak racun”, maka semua ini tidak boleh, karena termasuk berbuat sewenangwenang pada sesuatu yang bukan miliknya.

Wahai Hamba Allah! Jiwa yang pada dirimu itu adalah milik Pencipta dan Rabbmu, Dzat yang engkau ibadahi, yaitu Allah Azza wa Jalla . Engkau tidak boleh berbuat sewenang-wenang padanya.

Dalam hadits “barangsiapa yang menjatuhkan dirinya dari gunung lalu dia membunuh dirinya (mati), maka dia akan berada dalam Neraka Jahannam dalam keadaan melemparkan diri selama-lamanya” terdapat pelajaran yang bisa kita ambil. Bahwa orang tersebut kekal selamanya dalam Neraka Jahannam, sedangkan di dalam Ahlu Sunnah wal-Jama’ah –di antaranya terdapat kaidah- Perbuatan dosa-dosa besar termasuk dalam kategori dosa-dosa yang bisa diampuni Allah Azza wa Jalla jika Allah berkehendak. Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla :

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ

”Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya” [An-Nisâ/4: 48]

Bunuh diri, termasuk dalam bagian pertama ayat ini, ataukah bagian yang kedua? Apakah bunuh diri termasuk syirik, ataukah berada di bawah syirik? Jawabnya, bunuh diri termasuk dalam dosa di bawah dosa syirik. Namun dalam hadits itu dijelaskan, dia kekal selamanya di neraka. Lantas bagaimana jawabnya?

Para ulama mengatakan, pengertian hadits ini dibawa kepada orang yang membunuh diri, karena ia menganggapnya halal, atau karena meremehkan hukum syari’at, bukan karena maksiat semata, baik yang kecil maupun yang besar. Akan tetapi, ini merupakan pelanggaran terhadap dasar hukum syari’at, dia menentangnya dan menghalalkannya. Dalam kondisi seperti itu, maka dosa maksiat ini menjadi dosa kekufuran.

Oleh karena itu, Abu Ja’far ath-Thahawi, di dalam kitab ‘aqidah beliau yang masyhur, beliau mengatakan: “Kami tidak mengkafirkan ahlul-qiblah (kaum Muslimin) dengan sebab dosa, selama dia tidak menganggapnya halal.”

Pelaku perbuatan dosa ini, jika menganggapnya halal, maka dia menjadi kafir, meskipun perbuatan dosa tersebut lebih kecil atau lebih sedikit dari bunuh diri.

Secara ringkas, hifzhun-nafs dapat dilakukan dengan beberapa cara, di antaranya:

(a). Pada saat darurat (sangat terpaksa), wajib memakan apa saja demi menyambung hidup, meskipun yang ada saat itu sesuatu yang haram pada asalnya.
(b). Memenuhi kebutuhan diri, berupa makanan, minuman dan pakaian.
(c). Mewajibkan pelaksanaan qishash (hukum bunuh bagi yang membunuh, jika sudah terpenuhi syarat-syaratnya, Red.) dan mengharamkan menyakiti atau menyiksa diri [2]

3. MENJAGA AKAL (HIFZHUL-AQLI).
Sarana untuk menjaga akal ialah ilmu.
Kalimat wahyu pertama kali yang sampai kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menyentuh telinga beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ialah kalimat iqra’ (bacalah!), setelah itu kalimat:

عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ

“(Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”. [Al-Alaq/96: 5]

Karena membaca merupakan jalan mendapatkan ilmu, meskipun bukan jalan satu-satunya, akan tetapi dia merupakan jalan terpenting.

Dalam nash Al-Qur‘an yang lain, Allah berfirman,

وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا

“(dan katakanlah: “Ya Rabbku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan” [Thaha/20 : 114]

Akan tetapi ilmu ini wajib diiringi dengan amal perbuatan. Ilmu bukan sekedar untuk diketahui, namun dengan ilmu agar bertakwa, beramal shalih, serta menjauhan diri dari perbuatan maksiat dengan landasan takwa kepada Allah Azza wa Jalla . Karenanya dalam firman Allah surat Al-Maidah ayat 91 disebutkan.

إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلَاةِ ۖ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ

“Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu, dan berjudi itu menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)”.

Khamr dan perjudian telah menyebabkan manusia terhalang dari jalan Allah k dan bisa menghilangkan akal (kesadaran), sedangkan akal sangat dibutuhkan manusia untuk memahami perintah dan hukum-hukum syari’ah.

Dalam ayat ini, setelah Allah Azza wa jalla menjelaskan hukum syar’i dan menjelaskan kewajiban, kemudian seolah-olah Allah Azza wa Jalla hendak menggugah perhatian manusia. Allah Azza wa Jalla berfirman, yang artinya: (maka berhentilah kamu [dari mengerjakan pekerjaan itu]). Mengapa kalian tidak berhenti dari hal-hal yang kalian dilarang darinya, berupa kebiasaan orang-orang Jahiliyah, yaitu khamr dan perjudian? Sedangkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:.

كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ وَكُلُّ خَمْرٍ حَرَامٌ

“Setiap yang memabukkan adalah khamr, dan semua khamr itu haram”.

Meskipun banyak pabrik membuat produk, lalu setan membuat istilah-istilah untuk produk tersebut, namun kita memiliki kaidah yang mencakup semua nama, meskipun nama tersebut baru dan dirubahrubah, tetapi, setiap yang memabukkan adalah khamr, dan semua khamr itu haram.

Dan bahwasanya, untuk menjaga kebaikan akal, maka syari’at mengharamkan semua yang bisa merusaknya, baik yang maknawi (abstrak) seperti perjudian, nyanyian, memandang sesuatu yang diharamkan, maupun yang bersifat fisik seperti khamr, narkoba serta memberikan sanksi kepada yang melakukannya.[3]

4. MENJAGA KETURUNAN (HIFZHUN-NASLI).
Di antara dharûriyyâtul-khams yang dipelihara dan dijaga dalam syari’at, yaitu menjaga keturunan. Allah Azza wa Jalla berfirman :

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا

“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk”. [Al-Isrâ/17: 32]

Bentuk penjagaan agar manusia menjauhkan manusia dari perbuatan zina, maka syari’at memperbolehkan dan menganjurkan pernikahan poligami, sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla menyebutkan.

فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ

“Maka kawinilah wanita wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat”[An-Nisâ/4: 3]

Nabi Shallallahu ‘alaihiwa sallam juga bersabda :

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ

“Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang mampu menikah, maka hendaklah dia menikah. Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah dia melakukan puasa (sunat). Karena sesungguhnya puasa itu menjadi obat bagi dia”.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :

لَا يَزْنِي الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ

“Seorang pezina tidak akan melakukan perbuatan zina, sedangkan dia dalam keadaan beriman”.

Dalam sebagian riwayat dijelaskan, iman tercerabut darinya. Jika ia berhenti dari berzina, maka keimanannya kembali kepadanya. Semua nash-nash ini untuk menjaga keturunan.

Pemeliharaan keturunan ini, bisa dilihat dari beberapa hal berikut:
(a). Anjuran untuk melakukan pernikahan.
(b). Persaksian dalam pernikahan.
(c). Kewajiban memelihara dan memberikan nafkah kepada anak, termasuk kewajiban memperhatikan pendidikan anak.
(d). Mengharamkan nikah dengan pezina.
(e). Melarang memutuskan untuk thalaq jika tidak karena terpaksa.
(f). Mengharamkan ikhtilâth. [4]

5. MENJAGA HARTA (HIFZHUL-MALI).
Bagian terakhir dari dharuriyâtul-khams yang dijaga oleh syari’at. Yakni sesuatu yang menjadi penopang hidup, kesejahteraan dan kebahagiaan, yaitu menjaga harta. Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla:

وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلًا مَعْرُوفًا

“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan” [An-Nisâ‘/4 : 5]

Maksudnya, kemapanan keberadaan manusia ialah dengan harta. Oleh karenanya terdapat perintah mengeluarkan zakat, shadaqah. Dan zakat merupakan hak Allah k . Sehingga orang yang berhak menerimanya terjaga dan harta yang mengeluarkannya juga menjadi bersih dan suci.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لَعَنَ اللَّهُ السَّارِقَ يَسْرِقُ الْبَيْضَةَ فَتُقْطَعُ يَدُهُ

“Allah Azza wa Jalla melaknat pencuri yang mencuri telur, lalu tangannya dipotong”.

Dalam syari’at Allah yang bijak ini, juga terdapat larangan melakukan perbuatan tabdzir (pemborosan). Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ ۖ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا

“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan, dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Rabbnya”. [Al-Isrâ : 26-27]

Begitu juga Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang isrâf (berlebih-lebihan), sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya.

وَلَا تُسْرِفُوا ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

“Dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan” [Al-An’am/6 :141]

Di antara cara dalam pemeliharaan harta ialah:
(a). Islam mewajibkan beramal dan berusaha.
(b). Memelihara harta manusia dalam kekuasaan mereka.
(c). Islam menganjurkan bershadaqah, memperbolehkan jual beli dan hutang-piutang.
(d). Islam mengharamkan perbuatan zhalim terhadap harta orang lain dan wajib menggantinya.
(e). Kewajiban menjaga harta dan tidak menyia-nyiakannya.[5]

Demikian beberapa nash dari Al-Qur‘an dan as- Sunnah, yang berkaitan dengan dharûriyyâtul-khams .

Semoga Allah Azza wa Jalla memberikan kemudahan kepada kaum Muslimin lainnya untuk memahaminya, sehingga semakin menambah dan mengokohkan keyakinan terhadap kebenaran din, agama yang haq ini. Wallahu a’lam bish-Shawab

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XI/1428/2007M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Maqâshidusy-Syarî’ah ‘Inda Ibni Taimiyyah, hlm. 448-458
[2]. Maqâshidusy-Syarî’ah ‘Inda Ibni Taimiyyah, hlm. 462-465.
[3]. Maqâshidusy-Syarî’ah ‘Inda Ibni Taimiyyah, hlm. 467-468.
[4]. Maqâshidusy-Syarî’ah ‘Inda Ibni Taimiyyah, hlm. 473-478.
[5]. Maqâshidusy-Syarî’ah ‘Inda Ibni Taimiyyah, hlm. 481-487.

Sumber: https://almanhaj.or.id/3373-dharuriyyatul-khams-lima-kebutuhan-penting-yang-harus-dijaga-oleh-kaum-muslimin.html